Ino dengan sangat pelan membuka pintu toilet dimana ia telah
bersembunyi selama 1 jam. Kedengarannya sangat kelewatan
kalau bersembunyi di toilet cewek selama satu jam hanya untuk
menghindari seseorang yang datang menjemputnya
"Tapi demi Tuhan, ini Gaara yang kita bicarakan," bisik Ino kepada
dirinya sendiri. Ino mencuci tangannya setenang mungkin. Saat
melihat pantulan wajahnya di cermin ia memang terlihat agak
pucat.
"Kenapa aku bisa sebodoh ini… Pikir dulu kek, cari tahu dulu kek
sebelum kamu pacaran sama seseorang" Ino merapikan rambut
pirang panjangnya. Satu hari di sekolah sudah cukup untuk
meyakinkan dirinya tentang seperti apa sifatnya Gaara itu. Seisi
kelas meledakkan segunung pertanyaan kepadanya seperti
paparazzi yang menemukan seorang selebriti terkenal di jalan.
Setelah Ino mengiyakan pertanyaan mereka, mereka semua
terlihat takut dan gugup. Setelah berbicara dengan teman-
temannya yang ia dengar hanyalah kalau Gaara itu sadis, kejam,
tidak berperasaan, pokoknya killer habis. Ia selalu sendirian, kecuali
ditemani kedua kakakknya yang sekolah di sekolah yang sama.
Ino tidak bisa percaya. Ia memang ingin seseorang yang
membuatnya lupa akan Sasuke, tapi bukan orang yang bisa
membuatnya lupa akan bagaimana rasanya hidup tenang.
"Sempurna sekali. Keadaanku nggak bisa lebih parah daripada ini,"
ujar Ino dengan kesal kepada dirinya. Ia merapikan poninya hanya
untuk menenangkan dirinya yang masih ketakutan bertemu Gaara
yang katanya akan datang menjemputnya setelah sekolah selesai.
Ia mulai bertanya-tanya bagaimana para siswa lainnya harus
menghadapi bahaya melewati pintu gerbang
Ino sebenarnya ingin sekali menghampiri Gaara setelah sekolah,
dan memutuskannya. Ia benar-benar ketakutan. Tipe cowoknya
itu yang keren, yang lembut, yang perhatian. Gaara malah adalah
yang sebaliknya. Ino bisa mati ketakutan kalau pergi kencan.
Bagaimana ia bisa menikmati masa remajanya yang datang cuma
sekali ?
Ino menghela napas. Ia sebaiknya pulang atau ayahnya akan
cemas sekali. Ia nggak bisa terus-terusan berada di toilet cewek ini
kecuali ia mau pindah kesini untuk seterusnya. Ia yakin, inilah satu-
satunya tempat dimana Gaara tidak akan berani masuk, yaitu
toilet cewek.
Ino mengambil tas ungunya yang memiliki gantungan dua
strawberry. Ia keluar lalu melangkah dengan pelan ke arah pintu
luar sekolah. Ia melihat ke sekeliling, lalu ke arah pintu gerbang
memastikan tidak ada seorang cowok tinggi berambut merah di
sekitar. Terutama yang punya tattoo dengan kata ‚ai' di dahinya.
Tidak ada seorang pun di sekitar, bahkan penjaga sekolah juga
sepertinya menghilang. Ino menghela napas dengan tenang. Ia
berjalan ke arah pintu gerbang. Tiba-tiba seseorang
mencengkramnya dari samping saat melewati sudut gedung
sekolah. Ia menjerit kaget, tetapi ia kemudian mengenali orang
yang menahannya ke dinding.
Ino menjadi pucat, tetapi kemudian ia memaksakan sebuah
senyum.
„H-halo… Gaara."
Gaara memakai seragam sekolah Suna. Kerahnya sedikit terbuka
dan Ino benar-benar harus mengakui dalam dirinya kalau Gaara
itu terlihat keren. Memang itulah yang membuatnya memilih
cowok itu di disko pada malam itu
"Darimana saja kamu?"
"Uhm…" Ino cepat-cepat mencoba memikirkan sebuah alasan
logis yang masuk akal.
„A-aku.. gini… d-dari k-kamar kecil…"
"Selama satu jam?" Gaara menyipitkan kedua matanya dengan
tatapan tajam.
"Eh… g-gini… soalnya aku…"
Ayolah Ino! Pikirkanlah sebuah alasan yang logis! Yang masuk akal!
Apa sajaaaa!
"Aku tadi sakit perut keras sekali, aku benar-benar perlu ke kamar
kecil. Rasanya nggak tahan. Jalan ke rumah agak lama aku pikir
mungkin kalau aku ke kamar kecil aku akan merasa lebih baik…"
Ino mau mati saja. Disinilah ia, berhadapan dengan ketua geng
paling kasar di kabupaten, dihimpit kedua lengannya yang ehem kelihatannya gagah, membicarakan soal hal-hal yang bahkan Ino
tidak bicarakan dengan Sakura. Pasti sekarang yang Gaara pikirkan
adalah bagaimana lamanya Ino membutuhkan waktu untuk
buang air besar. Wajah Ino menjadi merah saking malunya. Dan
sepertinya Gaara menyadarinya.
"Kamu datang bulan ya?"
Sesaat Ino kaget. Tapi memang ia sih… tapi itu sudah sejak dua
hari. Tapi nggak apalah kalau hal ini bisa membuatnya keluar dari
keadaan yang menakutkan ini.
"I-iya…" Ino menelan ludah.
Gaara melepaskan Ino. Ia memandang Ino dengan saksama. Baru
sekarang Ino menyadari kalau Gaara terlihat kepanasan dan
seragamnya penuh debu. Jadi ia selama ini menunggunya di
depan pintu gerbang tidak mempedulikan perasaannya
"Kenapa tidak bilang sebelumnya? Kenapa tidak SMS? Aku sudah
pikir kamu diapa-apakan."
Ino tidak bisa percaya apa yang barusan ia dengar. Gaara cemas
memikirkan dirinya? Mungkin ia tidak semenakutkan seperti yang
dibicarakan yang lainnya…
"Ayo. Kita pergi makan siang. Kamu butuh makanan atau kamu
akan anemia."
Ino tambah malu, tetapi ia mengikuti Gaara dengan patuh. Ia
berjalan pelan di belakang Gaara. Saat cowok berambut merah itu
menyadarinya ia menghampiri Ino dan memeluk bahu Ino.
Jantung gadis itu berdegup kencang.
Ino tidak bisa percaya saat Gaara menaiki sebuah sepeda motor
kawasaki 1400 GTR berwarna hitam. Ino terkesan.
"Ini punyamu?" Ino memandang sepeda motor itu dengan
seksama, merasa tidak pantas menaiki kendaraan sekeren itu.
"Ya," jawab Gaara saat memasukkan kuncinya. „Aku beli dari hasil
kerja sambilan selama setahun. Aku suka naik sepeda motor.
Membuatku melupakan semua masalah saat melaju dengan
cepat…" Ia memandang Ino lalu melemparkan helmnya
kepadanya.
Ino menangkapnya, lalu melihat Gaara dengan heran.
"Pakailah. Aku hanya punya satu. Lebih baik kamu yang pakai
helmnya."
"Tapi… aku… Gaara kan…" Ino melihat gugup ke arah Gaara yang
sekarang tidak punya helm.
Pandangan Gaara kembali menjadi tajam. Mungkin itu tandanya ia
mulai tidak senang dan Ino memekik ketakutan lalu cepat-cepat
memakai helm itu, kemudian ia duduk di belakang Gaara.
"Berpeganganlah padaku. Aku biasanya melaju cepat," kata Gaara
dengan tenang.
Ino malah gugup mendengarnya dan dengan hati-hati ia memeluk
Gaara dari belakang. Punggungnya begitu nyaman, rasanya tidak
semenakutkan itu dekat dengan ketua geng yang paling ganas
setempat.